Legenda Pahit Lidah dan Si Mata Empat
Hatta
tersebutlah sebuah danau yang menjadi saksi sejarah dua insan manusia
yang bekelahi mengadu kekuatan mereka. Danau ini adalah saksi
pertarungan dua pendekar bernama Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Danau
ini terletak di Sumatera Selatan.
Si
Pahit Lidah dan Si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani yang
menjadi legenda terkenal bagi masyarakat Banding Agung. Mereka amat
disegani lawan-lawannya. Baik si Pahit Lidah maupun si Mata Empat,
keduanya merasa paling hebat di antara keduanya.
”Ha..ha..ha..sayalah
yang paling hebat sejagat raya ini, tak ada yang bisa menandingiku”ucap
si mata empat di depan umum ketika mempertunjukkan kehebatannya. ”Hei
si Mata Empat..sombong sekali kau, apa belum tahu kehebatanku??” teriak
si Pahit Lidah kepada si Mata Empat. Si Mata Empat pun menjadi geram
dan rasanya ingin segera menghajar si Pahit Lidah. Namun niatnya
tersebut diurungkan karena kalau berkelahi secara langsung tentu dia
akan kalah dengan kutukan lidahnya yang pahit itu
”Baiklah,
sekarang saya beri kelonggaran untukmu yang telah lancang kepadaku
Pahit Lidah, saya akan membuktikan seberapa hebat kesaktianmu. lima hari
dari sekarang di dekat Danau Ranau setelah matahari terbenam. Bagaimana
apakah kau sanggup?” tanya si Mata Empat menantang si Pahit Lidah.
”Oke..dengan
senang hati saya terima tantanganmu Mata Empat, lagipula aku sudah tak
sabar ingin menghajar orang sombong macam kau!!” jawab si Pahit Lidah
dengan lantang.
Akhirnya,
karena ingin membuktikan siapa yang benar-benar lebih hebat di antara
mereka berdua, mereka sepakat untuk bertemu dan mengadu kekuatan
masing-masing.
Maka
tibalah pada hari yang sangat menentukan itu. Mata Empat menggunakan
permainan licik yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Caranya,
secara bergiliran keduanya harus tidur menelungkup di bawah rumpun bunga
aren. Lalu, bunga aren di atas akan dipotong oleh salah satu di antara
mereka. Siapa bisa menghindar dari bunga dan buah aren yang lebat dan
berat itu, dialah yang akan disebut jawara sakti. Setiap orang diberi
kesempatan memotong tiga kali bila buah yang di jatuhkan belum mengenai
musuh. Si Pahit Lidah tidak mengetahui kalau Mata Empat telah berbuat
licik terhadapnya. Tapi si Pahit Lidah menerima saja tantangan Mata
Empat tersebut.
Lalu
dengan sistem undian yang telah mereka sepakati si Mata Empat mendapat
giliran pertama. Sesuai namanya, si Mata Empat juga memiliki dua mata
lain, yakni di belakang kepalanya.
Dengan secepat kilat si Pahit Lidah lalu memanjat pohon aren yang ada di tepi danau tersebut.
”Hei Mata Empat yang sombong terimalah ini, selamat tinggal untuk selama-lamanya.” ucap Pahit Lidah kepada Mata Empat.
Dengan
tenangnya si Mata Empat menelungkup di bawah pohon. Cring…byar…buah
aren berhasil di potong dan di jatuhkan oleh si Pahit Lidah.
Tentu
saja si Mata Empat bisa melihat arah jatuhnya buah aren tersebut. mata
di kepala mata empat bisa melihat ketika bunga aren jatuh meluncur ke ke
arah Mata Empat. Dengan mudahnya si Mata Empat bisa menghindar dari
runtuhan buah aren tersebut.
”Ha..ha..ha..ha..apakah
hanya itu saja kemampuanmu hai pahit lidah” dengan sombong Mata empat
mengejek si Pahit Lidah yang ada di atas pohon.
”Kurang
ajar, ternyata kau belum mati juga” dengan kesal si Pahit Lidah
memotong buah aren yang lebih besar. Tapi si Mata Empat dapat menghindar
lagi dari jatuhan buah aren tersebut.
”Wahai
Pahit Lidah saya kasih kesempatan sekali lagi untuk menunjukkan
kemampuanmu” ujar Mata Empat dengan sombongnya. Dengan perasaan hampir
putus asa, Pahit Lidah memotong buah aren yang lebh besar dari yang
kedua. Tapi dengan kemempuan yang dimilikinya, Mata Empat bisa
menghindar untuk ketiga kalinya dari jatuhan buah aren tersebut.
Dengan perasaan kecewa Pahit Lidah turun dari pohon aren tersebut. Kini giliran si Pahit Lidah untuk manjat pohon aren. Dengan secepat kilat juga si Mata Empat memanjat dan si Pahit Lidah sud ah menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon itu.
”Pahit lidah apakah kau sudah siap dengan kematianmu?”tanya Mata Empat kepada Pahit Lidah.
”Jangan banyak oceh kau. Cepat potong buahnya!”jawab Pahit Lidah.
Mata empat pun dengan alat yang telah di siapkannya memotong buah aren tersebut. Clazzz…gugusan buah are itu meluncur deras ke bawah.
Si pahit lidah tak bisa mengetahui hal itu. Badannya tetap berada persis di bawah luncuran itu. Ia tak menghindar.
”Akhhhh…”
Pahit Lidah berteriak kesakitan sejadi-jadinya. Buah aren yang besar
dan berat tersebut mengenai tubuh si Pahit Lidah. Tubuhnya bersimbah
darah dan ia tewas seketika secara mengenaskan.
”Ha..ha..ha..ternyata
kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesaktianku.” Si Mata
Empat senang, dan merasa puas. Ia bisa membuktikan pada semua orang,
dirinyalah yang lebih sakti dari si Pahit Lidah.
Namun
rasa ingiun tahunya muncul, mengapa lawannya itu mendapat julukan si
Pahit Lidah? Benarkah lidahnya memang pahit? Lalu karena penasaran, ia
cucukkan jarinya ke dalam mulut si pahit lidah yang sudah mati itu.
Setelah itu, dicecapnya jarinya sendiri yang sudah terkena liur di Pahit
Lidah.
”Benar, rasanya pahit sekali. Rasanya lebih pahit dari akar brotoali.”
Rupanya
itu racun yang mematikan. Si Mata Empat pun mengerang-erang kesakitan
memegangi tenggorokannya. Tapi apa mau dikata. Racun tersebut telah
menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan seketika itu juga tubuhnya membiru.
Maka si Mata Empat pun juga tewas di tempat yang sama. Akibat terlalu
sombong dan angkuh. Merasa dirinya paling hebat di dunia ini, padahal
masih ada yang lebih hebat sejagat raya ini yaitu Allah SWT. Kedua
jawara ini lalu dimakamkan oleh penduduk setempat di tepi Danau Ranau
yang menjadi saksi sejarah pertarungan antara si Pahit Lidah dan si Mata
Empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar